Merakit Kejayaan Dirgantara RI dengan Pesawat N-219
http://bsy-news.blogspot.com/2015/08/merakit-kejayaan-dirgantara-ri-dengan.html
Road Map Pesawat N219 ☆
Hari ini Republik Indonesia merayakan hari jadinya yang ke-70. Selama itu, sejumlah pencapaian telah diraih anak bangsa.
Salah satunya, pada 14 Agustus 1964, roket kebanggaan Indonesia, Kartika 1 diluncurkan oleh Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (LAPAN), ITB dan AURI.
Roket dengan berat 220 kg itu diluncurkan dari Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat. Kala itu, RI menjadi negara kedua di Asia dan Afrika yang mampu mengembangkan teknologi pembuatan rudal dan roket setelah Jepang. Tahun berikutnya, giliran Roket Kartika 2 yang mengangkasa.
Pembentukan LAPAN melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 236 tertanggal 27 November 1963 mengemban tugas mulia: perwujudan tekad para pendiri bangsa agar Indonesia bisa berdiri di kaki sendiri (berdikari) dan melepas ketergantungan negara lain di bidang antariksa dan teknologi dirgantara.
Tidak hanya roket, Tahun 1973, LAPAN terlibat dalam rancang bangun prototipe pesawat latih LT-200 untuk keperluan sipil dan militer. LT-200 adalah pesawat ringan 2 penumpang lisensi dari produk Pazmany PL-2 Amerika.
"Setelah mengalami beberapa kali proses modifikasi konstruksi, pada awal tahun 1975 mulai diproduksi massal dan diproses sertifikasinya. Selama dua tahun pertama, LIPNUR telah memproduksi kurang lebih 30 pesawat untuk kebutuhan sekolah penerbangan sipil, TNI-AU dan klub terbang di Indonesia," demikian dikutip dari situs LAPAN.
Kemudian, tahun 1977, LAPAN mengembangkan sendiri pesawat penumpang, XT-400. Pesawat penumpang bermesin kembar ini dapat mengangkut 8 penumpang dan mempunyai kemampuan take-off dan landing pada landasan yang pendek dengan landasan rumput atau tanah.
Pengembangannya sudah hampir selesai dan direncanakan akan terbang perdana pada tahun 1980. Sayangnya, tahun 1978 proyek SAINKON (Riset Desain dan Konstruksi Pesawat Udara) ini dihentikan melalui kebijakan pemerintah saat itu, yang mengalihkan semua program pengembangan pesawat terbang ke IPTN.
33 Tahun Vakum Hanggar perakitan N-219 (Agus Aribowo) ☆
Tahun 2011 menjadi akhir dari penantian panjang Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) setelah 33 tahun lamanya vakum dari penelitian, pengembangan dan rekayasa pesawat terbang. Kehadiran Pusat Teknologi Penerbangan (Pustekbang) menambah kekuatan di lembaga yang pernah dijabat Bapak industri penerbangan Indonesia, Nurtanio Pringgoadisuryo (Dirjen LAPAN I, 1963-1966).
Kehadiran Pustekbang dilatarbelakangi pemerintah dan DPR yang mempertanyakan kurangnya peran LAPAN dalam penelitian dan pengembangan teknologi penerbangan Tanah Air.
LAPAN diminta berkontribusi seperti Badan Antariksa Amerika (NASA), Jepang (JAXA), Korea Selatan (KARI), dan negara lainnya yang maju di bidang kedirgantaraan.
Berdasarkan amanat Peraturan Presiden No. 28 tahun 2008 dan Undang-Undang Penerbangan No. 1 tahun 2009, pasal 370 ayat 1 tentang Industri Kedirgantaraan, LAPAN diminta ikut mengembangkan produk kedirgantaraan Indonesia.
LAPAN pun memulai dengan ide pesawat perintis bersama PT Dirgantara Indonesia: N-219.
N-219 merupakan program pesawat terbang nasional kelas 19 penumpang yang dimulai melalui nota kesepahaman antara LAPAN dan PTDI tentang kerjasama di bidang pengembangan teknologi dirgantara pada tahun 2009. Keterlibatan LAPAN dalam pengembangan pesawat terbang bukan baru pertama kali.
Program Master Phasing Plan N-219 memiliki beberapa tahap yaitu, preliminary design, detail design, material procurement, fabrication and assembly, ground test, certification dan terakhir flight test. Rencananya, roll out atau kegiatan keluar hanggar dilaksanakan pada Hari Kebangkitan Teknologi Nasional, 10 Agustus 2015.
"Roll out mundur ke bulan Oktober karena kami tidak ingin dipaksakan. N-219 sekarang masih tahap perakitan panel dinding maupun sayap," ucap Agus Aribowo, Kepala Program N-219 LAPAN kepada Liputan6.com.
Kendala dan Biaya Pengembangan Pemeriksaan satu per satu komponen pesawat N-219 yang baru saja diproduksi (Agus Aribowo) ☆
Meski sudah berjalan sejak 2011, jelas Agus, pengembangan N-219 tidak terlepas dari kendala baik fasilitas, SDM hingga masalah anggaran. Pihaknya terus mencari jalan agar program ini bisa lancar dan bermanfaat untuk masyarakat Indonesia.
“Pola penganggaran riset dan pengembangan pemerintah seharusnya bisa multiyears, karena melihat kompleksitas proyek. SDM PT DI sedikit dan terbagi dalam beberapa program internal. Yang sekarang sudah terpecahkan yakni masalah tools dan jig yang di outsourching-kan ke luar namun harus mengikuti ketentuan kualitas yang sama dengan PT DI,” katanya.
Dalam upaya pembuatan pesawat itu, pemerintah mengucurkan dana sebesar Rp 400 milliar. Anggaran ini untuk membiayai, desain, pembuatan 4 prototipe, engineering flight simulator, landing gear drop test, mockup, dan lain-lain.
"4 prototipe, 2 untuk uji terbang, 2 untuk uji darat (fatigue test dan static test). Proses sertifikasi masih ada kendala di kesiapan benda uji (airframe) yang masih dalam tahap perakitan. Tapi masih dalam kendali. Sedangkan uji terbang rencananya April-Mei 2016," tuturnya.
N219 dan Twin Otter Hanggar perakitan N-219 (Agus Aribowo) ☆
Twin Otter adalah pesawat penumpang sipil ini terkenal lincah dan tangguh di medan maupun kondisi ekstrem. Masyarakat yang tinggal di wilayah seperti di Papua, Kepulauan Maluku, Nusa Tenggara Timur, maupun pilot-pilot pesawat sejenis telah mengakui kehebatannya.
Saat ini, populasi Twin Otter di langit Indonesia semakin berkurang, padahal kebutuhan pesawat sejenis makin meningkat dari tahun ke tahun. N-219 sendiri dikembangkan agar memiliki kemampuan dan maintenance yang sama seperti Twin Otter.
"Studi pasar di awal adalah bagaimana membuat pesawat untuk Papua (perintis). Dan juga menghadang Twin Otter termasuk kita pelajari apa yang membuat pesawat ini laku keras dan digemari operator dan pilot. Teknologi strukturnya (N-219) mengadopsi teknologi yang sudah dikuasai yaitu NC-212. Tapi performans dan maintanance inginnya seperti Twin Otter," imbuhnya.
Agus menambahkan, N-219 menggunakan engine yang sama dengan Twin Otter, Pratt & Whitney PT6A-42. Direncanakan harga jual N-219 lebih murah yakni USD 5 juta dibanding Twin Otter, USD 7 jutaan.
Dengan desain baru, N-219 memiliki sejumlah kelebihan lainnya. "Twin Otter punya stall speed 59 knot dengan beban maksimum MTOW (pesawat dan penumpang) hanya 5.630 kg sedangkan N-219 dengan stall speed 59 knot dan sedang diupayakan lebih rendah lagi dan MTOW-nya 7.030 kg. Sedangkan engine sama, harusnya juga sama (biaya operasionalnya)."
Kepala Divisi Pengembangan Bisnis dan Pemasaran PT DI, Ade Yuyu Wahyuna, menilai prospek pasar komersial pesawat sekelas N-219 masih cukup besar. Hingga kini, sudah ada pembeli potensial yang tertarik dengan pesawat N-219.
"Kalau dari skala bisnis kalau terjual 40 unit itu sudah kembali modal. Untuk mencapai angka itu saja dengan kami kemarin membina 3 perusahaan operator dalam negeri antara lain PT Aviastar Mandiri, PT Trigana Air Service dan PT NBA (Nusantara Buana Air) itu sudah ada Letter of Intens (Surat Pernyataan Minat). Kalau dari kebutuhan mereka kita kumpulin itu sudah lebih dari 50 unit," ucapnya.
Ade mengatakan, saat ini pihaknya sedang melakukan pengkajian rute-rute penerbangan perintis yang cocok bagi N-219. Maluku, Papua, Sulawesi dan Nusa Tenggara adalah beberapa wilayah yang difokuskan untuk dilakukan pengkajian.
"Kita rencana ada kerjasama dengan operator baru sekarang sedang dikaji dulu karena kita fokuskan di daerah perintis timur Indonesia, jadi kami sedang siapkan tim untuk masuk ke daerah paling ujung kita mulai dari Biak, Manado dan Nusa Tenggara. Itu bukan cuman jumlah tapi potensi rutenya, load dari penumpang, dan lain-lain," tuturnya.
"Untuk tahap awal kalau kita bagi 3 region di Timur itu sekitar 50 pesawat dibutuhkan. Maluku, Papua, Sulawesi dan Nusa Tenggara sampai di pulau terluar dan pulau terdepan di dekat Filipina. Kita lebih mencoba konektivitas kemaritiman melalui udara karena bisa menang dari waktu dan mobilitas."
N-219 Diminati Negara Lain Mock up cockpit N219 ☆
Pesawat N-219 rencananya akan dibuat menjadi beberapa varian yakni Passenger Transport, Troop Transport, Cargo Transport, Medical Evacuation (Medvac), Amphibious, Surveillance dan Patrolling.
Selain diminati untuk keperluan sipil, pihak militer juga menunjukkan ketertarikannya untuk mengganti pesawat yang sudah lawas. "TNI AL untuk Nomad 1 Skadron (9-15 pesawat), Thailand (Nomad) itu pengawas pantai (18 plus cadangan 2)," terang Agus.
'Gaung' N-219 juga terdengar hingga dunia Internasional. Menurut Ade, saat Konfrensi Asia-Afrika pada April 2015 kemarin, sejumlah negara yang berpartisipasi mengaku berminat membeli N-219. "Kita masuk di negara-negara yang membutuhkan. Kita coba di negara-negara yang kemarin ikut di Konfrensi Asia-Afrika yang membutuhkan pesawat sekelas N-219 dan mereka mengapresiasi. Bahkan bulan depan kita akan membicarakan dengan Presiden Mesir mengenai produk ini," katanya.
Ade menuturkan, pihaknya sudah memiliki daftar beberapa negara yang potensial membeli pesawat N-219. Pihaknya juga berterima kasih atas bantuan Kementrian Luar Negeri yang membantu mempromosikan karya anak bangsa ini di dunia Internasional.
"Ada Bangladesh, Madagaskar, Thailand, beberapa negara di Afrika, dan lain-lain. Alhamdulillah, Kementerian Luar Negeri melalui perwakilannya sampai hari ini dukungannya sangat membantu kami. Kita juga sedang meyiapkan untuk Jepang. Untuk pariwisata dan pertanian kalau di daerah Jepang, ini ada potensi," jelasnya.
Selain itu, Kanada menawarkan kerjasama untuk menyertifikasi N-219 di negaranya. Setiap negara yang tergabung dalam ICAO (International Civil Aviation Organization) memiliki badan otoritas sendiri. Jika pesawat ingin dijual atau beroperasi di negara lain, diharuskan disertifikasi oleh badan otoritas setempat.
Namun Direktur Utama, Budi Santoso, juga meminta agar tim fokus untuk menyelesaikan prototipe, sertifikasi dan memasok kebutuhan dalam negeri. "Masalah kita adalah manpower kita masih terbatas. Kalau nggak fokus dan bertahap nanti bisa bubar semua," tutupnya. (Ein/Mut)
Hari ini Republik Indonesia merayakan hari jadinya yang ke-70. Selama itu, sejumlah pencapaian telah diraih anak bangsa.
Salah satunya, pada 14 Agustus 1964, roket kebanggaan Indonesia, Kartika 1 diluncurkan oleh Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (LAPAN), ITB dan AURI.
Roket dengan berat 220 kg itu diluncurkan dari Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat. Kala itu, RI menjadi negara kedua di Asia dan Afrika yang mampu mengembangkan teknologi pembuatan rudal dan roket setelah Jepang. Tahun berikutnya, giliran Roket Kartika 2 yang mengangkasa.
Pembentukan LAPAN melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 236 tertanggal 27 November 1963 mengemban tugas mulia: perwujudan tekad para pendiri bangsa agar Indonesia bisa berdiri di kaki sendiri (berdikari) dan melepas ketergantungan negara lain di bidang antariksa dan teknologi dirgantara.
Tidak hanya roket, Tahun 1973, LAPAN terlibat dalam rancang bangun prototipe pesawat latih LT-200 untuk keperluan sipil dan militer. LT-200 adalah pesawat ringan 2 penumpang lisensi dari produk Pazmany PL-2 Amerika.
"Setelah mengalami beberapa kali proses modifikasi konstruksi, pada awal tahun 1975 mulai diproduksi massal dan diproses sertifikasinya. Selama dua tahun pertama, LIPNUR telah memproduksi kurang lebih 30 pesawat untuk kebutuhan sekolah penerbangan sipil, TNI-AU dan klub terbang di Indonesia," demikian dikutip dari situs LAPAN.
Kemudian, tahun 1977, LAPAN mengembangkan sendiri pesawat penumpang, XT-400. Pesawat penumpang bermesin kembar ini dapat mengangkut 8 penumpang dan mempunyai kemampuan take-off dan landing pada landasan yang pendek dengan landasan rumput atau tanah.
Pengembangannya sudah hampir selesai dan direncanakan akan terbang perdana pada tahun 1980. Sayangnya, tahun 1978 proyek SAINKON (Riset Desain dan Konstruksi Pesawat Udara) ini dihentikan melalui kebijakan pemerintah saat itu, yang mengalihkan semua program pengembangan pesawat terbang ke IPTN.
33 Tahun Vakum Hanggar perakitan N-219 (Agus Aribowo) ☆
Tahun 2011 menjadi akhir dari penantian panjang Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) setelah 33 tahun lamanya vakum dari penelitian, pengembangan dan rekayasa pesawat terbang. Kehadiran Pusat Teknologi Penerbangan (Pustekbang) menambah kekuatan di lembaga yang pernah dijabat Bapak industri penerbangan Indonesia, Nurtanio Pringgoadisuryo (Dirjen LAPAN I, 1963-1966).
Kehadiran Pustekbang dilatarbelakangi pemerintah dan DPR yang mempertanyakan kurangnya peran LAPAN dalam penelitian dan pengembangan teknologi penerbangan Tanah Air.
LAPAN diminta berkontribusi seperti Badan Antariksa Amerika (NASA), Jepang (JAXA), Korea Selatan (KARI), dan negara lainnya yang maju di bidang kedirgantaraan.
Berdasarkan amanat Peraturan Presiden No. 28 tahun 2008 dan Undang-Undang Penerbangan No. 1 tahun 2009, pasal 370 ayat 1 tentang Industri Kedirgantaraan, LAPAN diminta ikut mengembangkan produk kedirgantaraan Indonesia.
LAPAN pun memulai dengan ide pesawat perintis bersama PT Dirgantara Indonesia: N-219.
N-219 merupakan program pesawat terbang nasional kelas 19 penumpang yang dimulai melalui nota kesepahaman antara LAPAN dan PTDI tentang kerjasama di bidang pengembangan teknologi dirgantara pada tahun 2009. Keterlibatan LAPAN dalam pengembangan pesawat terbang bukan baru pertama kali.
Program Master Phasing Plan N-219 memiliki beberapa tahap yaitu, preliminary design, detail design, material procurement, fabrication and assembly, ground test, certification dan terakhir flight test. Rencananya, roll out atau kegiatan keluar hanggar dilaksanakan pada Hari Kebangkitan Teknologi Nasional, 10 Agustus 2015.
"Roll out mundur ke bulan Oktober karena kami tidak ingin dipaksakan. N-219 sekarang masih tahap perakitan panel dinding maupun sayap," ucap Agus Aribowo, Kepala Program N-219 LAPAN kepada Liputan6.com.
Kendala dan Biaya Pengembangan Pemeriksaan satu per satu komponen pesawat N-219 yang baru saja diproduksi (Agus Aribowo) ☆
Meski sudah berjalan sejak 2011, jelas Agus, pengembangan N-219 tidak terlepas dari kendala baik fasilitas, SDM hingga masalah anggaran. Pihaknya terus mencari jalan agar program ini bisa lancar dan bermanfaat untuk masyarakat Indonesia.
“Pola penganggaran riset dan pengembangan pemerintah seharusnya bisa multiyears, karena melihat kompleksitas proyek. SDM PT DI sedikit dan terbagi dalam beberapa program internal. Yang sekarang sudah terpecahkan yakni masalah tools dan jig yang di outsourching-kan ke luar namun harus mengikuti ketentuan kualitas yang sama dengan PT DI,” katanya.
Dalam upaya pembuatan pesawat itu, pemerintah mengucurkan dana sebesar Rp 400 milliar. Anggaran ini untuk membiayai, desain, pembuatan 4 prototipe, engineering flight simulator, landing gear drop test, mockup, dan lain-lain.
"4 prototipe, 2 untuk uji terbang, 2 untuk uji darat (fatigue test dan static test). Proses sertifikasi masih ada kendala di kesiapan benda uji (airframe) yang masih dalam tahap perakitan. Tapi masih dalam kendali. Sedangkan uji terbang rencananya April-Mei 2016," tuturnya.
N219 dan Twin Otter Hanggar perakitan N-219 (Agus Aribowo) ☆
Twin Otter adalah pesawat penumpang sipil ini terkenal lincah dan tangguh di medan maupun kondisi ekstrem. Masyarakat yang tinggal di wilayah seperti di Papua, Kepulauan Maluku, Nusa Tenggara Timur, maupun pilot-pilot pesawat sejenis telah mengakui kehebatannya.
Saat ini, populasi Twin Otter di langit Indonesia semakin berkurang, padahal kebutuhan pesawat sejenis makin meningkat dari tahun ke tahun. N-219 sendiri dikembangkan agar memiliki kemampuan dan maintenance yang sama seperti Twin Otter.
"Studi pasar di awal adalah bagaimana membuat pesawat untuk Papua (perintis). Dan juga menghadang Twin Otter termasuk kita pelajari apa yang membuat pesawat ini laku keras dan digemari operator dan pilot. Teknologi strukturnya (N-219) mengadopsi teknologi yang sudah dikuasai yaitu NC-212. Tapi performans dan maintanance inginnya seperti Twin Otter," imbuhnya.
Agus menambahkan, N-219 menggunakan engine yang sama dengan Twin Otter, Pratt & Whitney PT6A-42. Direncanakan harga jual N-219 lebih murah yakni USD 5 juta dibanding Twin Otter, USD 7 jutaan.
Dengan desain baru, N-219 memiliki sejumlah kelebihan lainnya. "Twin Otter punya stall speed 59 knot dengan beban maksimum MTOW (pesawat dan penumpang) hanya 5.630 kg sedangkan N-219 dengan stall speed 59 knot dan sedang diupayakan lebih rendah lagi dan MTOW-nya 7.030 kg. Sedangkan engine sama, harusnya juga sama (biaya operasionalnya)."
Kepala Divisi Pengembangan Bisnis dan Pemasaran PT DI, Ade Yuyu Wahyuna, menilai prospek pasar komersial pesawat sekelas N-219 masih cukup besar. Hingga kini, sudah ada pembeli potensial yang tertarik dengan pesawat N-219.
"Kalau dari skala bisnis kalau terjual 40 unit itu sudah kembali modal. Untuk mencapai angka itu saja dengan kami kemarin membina 3 perusahaan operator dalam negeri antara lain PT Aviastar Mandiri, PT Trigana Air Service dan PT NBA (Nusantara Buana Air) itu sudah ada Letter of Intens (Surat Pernyataan Minat). Kalau dari kebutuhan mereka kita kumpulin itu sudah lebih dari 50 unit," ucapnya.
Ade mengatakan, saat ini pihaknya sedang melakukan pengkajian rute-rute penerbangan perintis yang cocok bagi N-219. Maluku, Papua, Sulawesi dan Nusa Tenggara adalah beberapa wilayah yang difokuskan untuk dilakukan pengkajian.
"Kita rencana ada kerjasama dengan operator baru sekarang sedang dikaji dulu karena kita fokuskan di daerah perintis timur Indonesia, jadi kami sedang siapkan tim untuk masuk ke daerah paling ujung kita mulai dari Biak, Manado dan Nusa Tenggara. Itu bukan cuman jumlah tapi potensi rutenya, load dari penumpang, dan lain-lain," tuturnya.
"Untuk tahap awal kalau kita bagi 3 region di Timur itu sekitar 50 pesawat dibutuhkan. Maluku, Papua, Sulawesi dan Nusa Tenggara sampai di pulau terluar dan pulau terdepan di dekat Filipina. Kita lebih mencoba konektivitas kemaritiman melalui udara karena bisa menang dari waktu dan mobilitas."
N-219 Diminati Negara Lain Mock up cockpit N219 ☆
Pesawat N-219 rencananya akan dibuat menjadi beberapa varian yakni Passenger Transport, Troop Transport, Cargo Transport, Medical Evacuation (Medvac), Amphibious, Surveillance dan Patrolling.
Selain diminati untuk keperluan sipil, pihak militer juga menunjukkan ketertarikannya untuk mengganti pesawat yang sudah lawas. "TNI AL untuk Nomad 1 Skadron (9-15 pesawat), Thailand (Nomad) itu pengawas pantai (18 plus cadangan 2)," terang Agus.
'Gaung' N-219 juga terdengar hingga dunia Internasional. Menurut Ade, saat Konfrensi Asia-Afrika pada April 2015 kemarin, sejumlah negara yang berpartisipasi mengaku berminat membeli N-219. "Kita masuk di negara-negara yang membutuhkan. Kita coba di negara-negara yang kemarin ikut di Konfrensi Asia-Afrika yang membutuhkan pesawat sekelas N-219 dan mereka mengapresiasi. Bahkan bulan depan kita akan membicarakan dengan Presiden Mesir mengenai produk ini," katanya.
Ade menuturkan, pihaknya sudah memiliki daftar beberapa negara yang potensial membeli pesawat N-219. Pihaknya juga berterima kasih atas bantuan Kementrian Luar Negeri yang membantu mempromosikan karya anak bangsa ini di dunia Internasional.
"Ada Bangladesh, Madagaskar, Thailand, beberapa negara di Afrika, dan lain-lain. Alhamdulillah, Kementerian Luar Negeri melalui perwakilannya sampai hari ini dukungannya sangat membantu kami. Kita juga sedang meyiapkan untuk Jepang. Untuk pariwisata dan pertanian kalau di daerah Jepang, ini ada potensi," jelasnya.
Selain itu, Kanada menawarkan kerjasama untuk menyertifikasi N-219 di negaranya. Setiap negara yang tergabung dalam ICAO (International Civil Aviation Organization) memiliki badan otoritas sendiri. Jika pesawat ingin dijual atau beroperasi di negara lain, diharuskan disertifikasi oleh badan otoritas setempat.
Namun Direktur Utama, Budi Santoso, juga meminta agar tim fokus untuk menyelesaikan prototipe, sertifikasi dan memasok kebutuhan dalam negeri. "Masalah kita adalah manpower kita masih terbatas. Kalau nggak fokus dan bertahap nanti bisa bubar semua," tutupnya. (Ein/Mut)